Bantuan Teknis II
Eropa adalah salah satu daerah pengimpor rempah-rempah dan rempah-rempah terkemuka di dunia, terhitung sekitar seperempat dari total impor rempah-rempah dunia. Permintaan Eropa untuk rempah-rempah dan rempah-rempah telah tumbuh pesat selama bertahun-tahun, terutama selama pandemi Covid-19, yang melihat tren peningkatan impor rempah-rempah sebesar 16,7%. Hal ini disebabkan persepsi konsumen Eropa terhadap rempah-rempah seperti bawang putih, kayu manis, dan jahe sebagai alternatif untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus Covid-19. Orang Eropa juga menggunakan rempah-rempah sebagai bahan tambahan makanan, bumbu, dan bahan untuk produk herbal, kosmetik, wewangian, dan obat-obatan. Sektor yang paling banyak menggunakan rempah-rempah adalah sektor rumah tangga, retail, hotel/restoran/café (Horeca).
Produk ekspor utama Indonesia untuk rempah-rempah ke Belanda adalah lada (EUR 7,9 juta), vanili (EUR 710 ribu), kayu manis (EUR 13,5 juta), cengkeh (EUR 790 ribu), pala, fuli dan kapulaga (EUR 20 juta). Pada tahun 2021, nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke Belanda baru mencapai 43 juta euro dengan pangsa pasar 24%, sedangkan nilai ekspor ke Uni Eropa (UE) baru senilai 100 juta euro dengan pangsa pasar 11%. Dengan demikian, 76% - 89% peluang pasar yang belum dimanfaatkan di Belanda dan Uni Eropa untuk ekspor rempah-rempah Indonesia masih tersedia. Namun, eksportir rempah-rempah Indonesia harus dapat memenuhi persyaratan jaminan kualitas dan keamanan pangan dengan memenuhi batas maksimum residu untuk kontaminan seperti aflatoksin, okratoksin, pestisida dll. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan Good Agricultural Practices dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Titik Kontrol) di sepanjang rantai nilai untuk memastikan penerimaan produk di pasar Uni Eropa.
Itulah intisari dari Seminar Peluang, Tantangan, dan Persyaratan Ekspor Rempah-Rempah ke Uni Eropa, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (DGNED), Kementerian Perdagangan, dengan dukungan dari ARISE+ Indonesia yang didanai oleh Uni Eropa, pada 11 Agustus 2022.
Kepulauan Indonesia telah dikenal sepanjang sejarah untuk kebanyakan rempah-rempah. Lebih dari 30.000 spesies dapat ditemukan di Nusantara, antara lain pala dan fuli, cengkeh, andaliman, kayu manis, merica, jahe, dan masih banyak lagi. Pala tumbuh asli di Maluku bagian timur (Maluku) Kepulauan Banda, juga dikenal sebagai Pulau Rempah-rempah, sedangkan Cengkih awalnya ditemukan di Kepulauan Bacan, Halmahera, Ternate, dan Tidore Maluku.
Pada abad pertengahan, Indonesia adalah pemasok rempah-rempah terkemuka ke dunia, menarik banyak pedagang asing, termasuk penjelajah Eropa. Jalur Sutra Maritim, bagian maritim dari Jalur Sutra bersejarah yang menghubungkan Asia Tenggara dan Eropa, didirikan karena perdagangan rempah-rempah. Sama pentingnya dengan komoditas rempah-rempah saat itu, pada tahun 1677, dengan Perjanjian Breda, Belanda bersedia menyerahkan New Amsterdam (sekarang Manhattan, New York) ke Inggris dengan imbalan Pulau Banda, satu-satunya penghasil pala. Saat itu, pala lebih berharga daripada emas.
Sayangnya, setelah dua abad kejayaan, ekspor rempah-rempah Indonesia menurun karena tantangan yang dihadapi petani, termasuk masalah aflatoksin dan herbisida lainnya, proses sertifikasi yang mahal dan panjang, produktivitas rendah, persaingan penggunaan lahan, dan pengetahuan pasca panen yang tidak memadai.
Pemerintah Indonesia ingin mengembalikan kejayaan era rempah-rempah Indonesia dengan meluncurkan program Indonesia Spice Up the World. Pada tahun 2024, diharapkan lebih dari 4.000 restoran Indonesia akan dibuka di seluruh dunia, dan nilai ekspor rempah-rempah akan mencapai USD2 miliar.
Dalam sambutan pembukaan seminar atas nama Dirjen PEN, Kementerian Perdagangan, Direktur Pengembangan Ekspor Produk Primer Ibu Merry Maryati kembali menegaskan komitmen Ditjen PEN untuk mendukung petani, produsen, dan eksportir dalam meningkatkan ekspor rempah-rempah.
Ibu Maryati memaparkan empat strategi DJP untuk menjawab tantangan dan mendorong ekspor rempah-rempah, yaitu:
- Kerjasama dengan lembaga sertifikasi untuk memfasilitasi bisnis Indonesia dalam sertifikasi HACCP;
- Kemitraan dengan Aliansi Organik Indonesia untuk mendukung petani dan produsen rempah-rempah dalam pertanian organik dan sertifikasi;
- Kerjasama dengan ARISE+ Indonesia untuk membangun branding Indikasi Geografis (IG) dan penguatan kapasitas kelembagaan Masyarakat Pemegang Hak IG (MPIG);
- Memanfaatkan 46 perwakilan perdagangan di 33 negara untuk mempromosikan rempah-rempah dan komoditas Indonesia dan memfasilitasi pencocokan bisnis dan pameran perdagangan untuk produk dan rempah-rempah Indonesia.
Mengakui dukungan Uni Eropa dalam meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia, Duta Besar Indonesia untuk Belanda, H.E. Mayerfas, memuji seminar tersebut sebagai platform penting bagi pelaku usaha Indonesia untuk memahami peluang, tantangan, dan persyaratan untuk mengekspor rempah-rempah ke UE.
H.E Mayerfas menyarankan agar kegiatan serupa dapat dilakukan untuk produk ekspor lainnya ke UE.
“Dengan dukungan ARISE+ Indonesia yang didanai Uni Eropa, kami berharap otoritas Eropa lebih terbuka untuk menerima produk Indonesia,” kata H.E Mayerfas.
Menyampaikan sambutan pembukaan, Kuasa Usaha a.i Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Bapak Margus Solnson, menegaskan kembali bahwa Uni Eropa telah menjadi mitra yang kuat dan berkomitmen untuk Indonesia selama lebih dari 30 tahun di berbagai bidang. Namun, Mr Solnson menambahkan bahwa mengingat ukuran kedua ekonomi, investasi perdagangan yang solid jauh di bawah potensi sebenarnya.
“Jelas ada potensi yang belum dimanfaatkan dalam hubungan perdagangan bilateral. Keberhasilan kesepakatan Uni Eropa - Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang sedang berlangsung akan menjadi elemen kunci untuk memperkuat hubungan ekonomi antara Uni Eropa dan Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi kedua negara, " kata Pak Solnson.
Seminar ini menghadirkan pembicara terkemuka, yaitu Atase Perdagangan KBRI Belanda, Mr Sabbat CJ Sirait; CEO Pacific Spizes di Belanda, Mr Rico Vogel; Ketua Inisiatif Rempah-Rempah Berkelanjutan, Bapak Dippos Naloanro Simanjuntak; dan Ketua Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia, Bapak Nyoman Susila. Pakar Senior Infrastruktur Kualitas Ekspor ARISE+ Indonesia, Bapak Arief Safari, menjadi moderator seminar.
Dalam paparannya, Sabbat menyoroti pentingnya dukungan Pemerintah untuk mengatasi mahalnya biaya logistik yang menghambat ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Sementara itu, Bapak Anro (Naloanro) menggarisbawahi pentingnya pelabelan, pengemasan, kepatuhan keamanan pangan, dan membidik rempah-rempah organik, berkelanjutan dan perdagangan yang adil untuk menargetkan pasar premium dan niche.
Dari sisi pembeli, Bapak Vogel memaparkan standar dan persyaratan untuk rempah-rempah yang diekspor ke Belanda. Sementara itu, Bapak Nyoman menyampaikan presentasi komprehensif tentang Acuan Baku Mutu Produk Rempah-rempah dan Skema Penilaian Kesesuaian untuk lada, pala, kayu manis, cengkeh, kapulaga, vanili, kunyit, dan jahe.
Lebih dari 250 bisnis dan asosiasi Indonesia berpartisipasi dalam seminar, secara langsung atau online. Para peserta sangat antusias selama diskusi dan mengajukan banyak pertanyaan, terutama mengenai sertifikasi, biaya, dan penetapan harga nilai tambah.
Menanggapi pertanyaan peserta, Bapak Anro menjelaskan, “Untuk perusahaan kecil atau startup dapat memulai dengan sertifikasi organik standar lokal dan naik ke tingkat sertifikasi organik yang lebih tinggi. Sertifikasi SNI diterima untuk ekspor ke ASEAN dan Timur Tengah, tetapi sertifikasi SNI diterima untuk ekspor ke ASEAN dan Timur Tengah. Pasar UE akan membutuhkan sertifikasi organik yang lebih maju. Bahkan di dalam UE, setiap negara menerapkan persyaratan standar yang berbeda; misalnya, Jerman membutuhkan sertifikasi organik Naturland, sedangkan Swiss membutuhkan Bio Swiss."
Sebelum seminar, ARISE+ Indonesia melakukan mini study untuk mendapatkan gambaran kesiapan ekspor produk rempah-rempah, kesiapan ekspor UKM dan dukungan yang dibutuhkan untuk meningkatkan ekspor rempah-rempah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada peserta yang terdaftar sebagai responden target seminar, namun hanya 85 perusahaan yang merespon.
Dari 85 responden, 50 responden (58,8%) berbentuk LLC (PT), 18 responden (21,2%) berbentuk Perseroan Terbatas (CV), 12 responden (14,1%) adalah perorangan, 3 responden ( 3,5%) adalah koperasi, dan 2 responden memiliki bentuk lain (2,4%).
Hasil studi adalah sebagai berikut:
- Kesiapan responden untuk mengekspor produk rempah-rempah tergolong sedang, dengan basis penjualan dan metode pemasaran domestik yang relatif lemah serta sumber daya dan komitmen manajemen ekspor yang relatif lemah.
- Kesiapan produk rempah-rempah yang disiapkan responden untuk ekspor berada pada kondisi rata-rata hingga relatif kuat, positioning produk rata-rata di pasar domestik, dan manfaat produk rata-rata dengan adaptasi produk relatif kuat.
- Sebagian besar responden (92,9%) membutuhkan dukungan atau fasilitasi lebih lanjut dari Pemerintah atau proyek pembangunan seperti ARISE+ Indonesia. Fasilitasi yang dibutuhkan terkait kualitas adalah penerapan ISO-9000 (56,5%), penerapan HACCP (62,4%), penerapan skema Sertifikasi Organik (58,8%) dan penerapan Fair Trade Certification (65,9%). Sedangkan fasilitasi yang dibutuhkan terkait dengan non-mutu adalah fasilitasi mendapatkan mitra usaha (89,4%), fasilitasi pameran dagang (65,9%) dan fasilitasi pendanaan ekspor (64,7%).
Ditemui pada kesempatan terpisah, Dirjen PEN, Didi Sumedi mengapresiasi kajian yang dilakukan oleh ARISE+ Indonesia yang dapat dijadikan sebagai data pendukung untuk merencanakan dukungan yang tepat bagi UMKM Indonesia.
“Kami berharap akan ada kelanjutan kegiatan kerjasama dengan ARISE+ Indonesia untuk menindaklanjuti hasil kajian tersebut, mungkin dengan menyelenggarakan pelatihan Sertifikasi Organik dan Fair Trade yang juga dibahas oleh peserta seminar,” ujar Didi.
Jasa SEO Jakarta